Beberapa hari ini saya nonton berita di RCTI. Entah itu SEPUTAR INDONESIA, NUANSA PAGI, ATAUPUN BULETIN MALAM. Kebetulan saat itu RCTI banyak mengangkat liputan berita tentang provinsi PAPUA.
Betul - betul miris hati saya, ketika saya melihat saudara saudara kita yang ada di ujung timur itu menderita. Dana otonomi khusus yang selama ini digulirkan pemerintah ternyata hanya dimakan oleh para birokrat tak bertanggung jawab. Huh kesal juga hati saya .
Coba kita pikirkan. Kita ternyata masih beruntung di bandingkan saudara saudara kita di PAPUA itu. Kita masih dapat mengenyam pendidikan di sekolah yang bertebaran di mana mana, kita masih bisa menikmati hiburan sesuka hati kita. Nah kalo saudara kita di PAPUA, jangankan hiburan, pelayanan listrik pun mereka tidak dapat mendapatkannya . Kita seharusnya membuka mata kita lebar - lebar.
Memang di masa masa sekarang ini rakyat papua mulai mencoba melepaskan diri dari kesatuan NKRI ini. Saya rasa alasan mereka untuk melepaskan diri itu cukup masuk di akal. Bagaimana tidak. Pemerintah kita seakan mau mempermainkan PAPUA. Sumber Daya Alamnya dikeruk habis habisan, rakyatnya dibiarkan saja sengsara. Pemerintah seakan melupakan provinsi PAPUA tersebut.
Kini masyarakat Papua masih tertinggal dibandingkan dengan saudara-saudara
mereka sebangsa. Di Kota Sorong, gerbang Provinsi Papua, kota industri,
perdagangan, dan jasa di Papua, ketersisihan warga Papua amat nyata. Hampir
seluruh sektor ekonomi-formal maupun informal-dikuasai warga non-Papua.
Kalaupun ada warga Papua yang terjun di dunia perdagangan, mereka umumnya
bermodal kecil dengan keuntungan sangat kecil. Barang yang dijual umumnya hasil
kebun dan hutan yang nilai jualnya tidak seberapa. Pertokoan dan kios di
jalan-jalan utama kota hampir seluruhnya dimiliki warga pendatang yang sudah
menetap lama. Pedagang warga Papua hanya ada di pasar-pasar tradisional.
Di pertokoan modern atau kantor pemerintah, karyawan warga Papua sangat sedikit
dibandingkan dengan warga pendatang. Bahkan hingga pekerjaan yang tak
memerlukan keterampilan khusus, seperti tukang sapu. Pembelinya pun sebagian
besar warga yang diistilahkan sebagai "orang berambut lurus".
Sebagian besar pendududk papua sekarang sebenarnya adalah warga pendatang. Pada umumnya penduduk asli PAPUA tidak mampu bersaing dengan warga pendatang itu.Ketidakmampuan warga Papua bersaing dengan warga pendatang sebenarnya harus dipahami sebagai perbedaan pola budaya. Warga pendatang umumnya memiliki pola budidaya-mampu mengelola sumber daya yang ada menjadi lebih bernilai guna dan
hasilnya berlipat. Sementara warga asli Papua masih memiliki budaya
berburu-hanya memanfaatkan aset sesuai keperluan.